11.13.2008

Sanggar Sastra Siswa
Oleh: Afriyendy Gusti

Salah satu pengertian ‘sanggar’ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tempat untuk kegiatan seni. Dengan kata lain, istilah sanggar juga dapat diartikan sebagai sebuah tempat untuk berkesenian, baik untuk seni lukis, seni tari, seni musik, maupun seni pertunjukkan. Di dalam sanggar individu-individu melakukan interaksi secara berkesinambungan mulai dari hanya sekadar berwacana, beradu argumen, sampai pada implementasi sintesis yang telah disepakati.
Beberapa tahun belakangan, seiring dengan semakin dikenalnya dunia sastra di masyarakat, hadir pula sebuah wadah bersastra beberapa individu yang disebut dengan sanggar sastra. Jika merujuk kepada defenisi sanggar di atas, sanggar sastra dapat diartikan sebagai sebuah tempat untuk bersastra, baik untuk mengapresiasi ataupun memroduksi karya sastra. Akan tetapi, biasanya sebuah sanggar sastra lebih memilih untuk melakukan keduanya.

Hubungan Sanggar Sastra dengan Sekolah dan Siswa
Sekolah sebagai lembaga resmi yang dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan proses pendidikan dan pengajaran memiliki fungsi strategis dalam pembinaan sanggar sastra. Selain memediasi praktisi sastra dan/atau sastrawan dengan siswa, sekolah juga mengorganisasikan siswa pecinta sastra untuk berkreatifitas dalam sebuah sanggar sastra. Pelaksanaan terhadap fungsi tersebut, selain membantu guru Bahasa Indonesia memberikan pengetahuan kesastraan terhadap siswa, sekolah juga telah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan dirinya dalam dunia sastra. Dengan demikian, pemasyarakatan sastra terhadap generasi muda akan lebih mudah dilakukan.
Sementara itu, siswa sebagai sivitas sekolah yang pada masanya akan menjadi tulang punggung bangsa diharapkan dapat tumbuh dengan memiliki segenap kecerdasan yang berimbang, baik cerdas secara intelektual, spritual, emosial, sekaligus peka terhadap gejala sosial. Karya sastra pada umumnya lahir sebagai reaksi atas realitas di masyarakat (mimesis). Pada dasarnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk mengapresiasi realitas, tetapi tidak setiap orang mampu untuk mengimplementasikan apresiasi tersebut melalui tulisan. Padahal, tulisan merupakan salah satu media terbaik untuk merekam peristiwa. Bagian inilah yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa yang tergabung ke dalam sanggar sastra. Dengan program-program positif yang disusun oleh anggota sanggar, diharapkan siswa mampu memroduksi karya-karya sastra yang baik, karya yang merupakan hasil dari apresiasi, kontemplasi, dan imajinasi siswa secara mandiri.
Selain meningkatkan pengalaman bersastra siswa, keberadaan sanggar sastra di sekolah secara tidak langsung juga (diharapkan) mengurangi tingkat kenakalan remaja (siswa). Kecenderungan remaja untuk menojolkan dan membuktikan eksistensi secara individu maupun berkelompok dapat diarahkan pada kegiatan yang positif. Dengan komunikasi yang berkelanjutan, pengaruh negatif (seperti narkoba, kelompok liar (gank), budaya konsumtif) yang rentan menjerumuskan remaja dapat diantisipasi. Sekali waktu siswa pun dapat diajak mendiskusikan tontonan/hiburan di layar televisi yang menurut beberapa pengamat cenderung menawarkan pola hidup konsumtif ala kapitalisme(?).

Karya Sastra
Menurut Budi Darma, di antara tiga kategori ilmu pengetahuan, yakni humaniora, eksakta, dan sosial, ilmu humaniora adalah yang paling tua. Sesuai dengan namanya, humaniora, yaitu ilmu-ilmu yang berusaha memanusiakan manusia dan menjadikan manusia berbudaya. Sastra, bahasa, dan agama merupakan cabang ilmu yang termasuk ke dalam ilmu humaniora. Menurut konsep Barat, sastra berasal dari litera (huruf), sedangkan menurut konsep Timur yang awalnya datang dari peradaban India Kuno, sastra berasal dari su-sastra, yaitu tulisan yang baik dengan tujuan yang baik pula. Dengan demikian, sastra diciptakan dengan bahasa yang baik dan mengandung tujuan yang baik pula.(Darma: 2004)
Ada tiga genre sastra yang dikenal secara luas, yakni puisi, drama, dan cerita rekaan. Ketiga genre ini memiliki bagian-bagian tersendiri pula. Pada puisi dikenal juga istilah sajak, gurindam, syair, pantun, dan seterusnya. Pada drama muncul teater, monolog, opera, dan seterusnya. Pada cerita rekaan, termasuk di dalamnya cerita pendek, novel, roman, dan seterusnya. Meskipun memiliki spesifikasi yang berbeda, namun menurut Horatius, di dalam karya sastra tetap mengandung dua unsur, yakni dulce et utile (nikmat dan manfaat). Selain memiliki alur dan gaya bahasa yang memikat, karya sastra juga harus bermanfaat terhadap pembacanya.

Merencanakan Sanggar Sastra
Keberadaan sebuah sanggar sastra pada prinsipnya sama dengan keberadaan program-program kreatif lainnya yang terdapat di sekolah seperti pramuka dan sispala. Hal utama adalahkemauan yang kuat dari pembuat kebijakan di sekolah termasuk di sini adalah guru Bahasa Indonesia dan/atau guru Kesenian. Siswa masih merupakan pihak yang perlu didorong dan semangati untuk dibina. Untuk pengembangannya dapat bekerja sama dengan pihak dari luar sekolah seperti seniman, sastrawan, ataupun lembaga-lembaga pemerintah/swasta yang memiliki kompetensi akan hal ini. Pada akhirnya tugas pendidikan diharapkan bukan hanya menjadi beban guru dan sekolah sebagai institusinya, melainkan menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Semoga dengan keberadaan sanggar siswa di sekolah dapat memunculkan siswa yang intelektual, kreatif, dan berbudaya seperti apa yang dipercayai Gothe bahwa sastra merupakan dunia pemikiran. Dengan demikian, mempelajari dunia sastra dapat dikatakan sebagai pengajaran mengenai akal budi atau pemikiran (Darma: 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar