11.17.2008

PEREMPUANKU

oleh: MalaM

Perjalanan menuju kampung halamanku memang melelahkan. Apalagi untuk ukuran usiaku yang sudah menginjak empat puluh dua tahun. Untunglah Kijang tua ini mengerti bahwa aku sudah terlalu tua mengemudikannya untuk perjalanan jauh. Di sampingku, kulihat Siska masih asik dengan mimpinya. Sejak kunikahi tujuh belas tahun yang lalu, sifatnya tak banyak berubah. Dia selalu pandai menyemangati aku untuk berjuang menuntaskan pekerjaan dengan sabar dan telaten. Pesan untuk berhati-hati seringkali ia iringkan sesaat sebelum aku memunggunginya. Yah, ia memang tipe istri yang susah dicari gantinya, setidaknya bagiku. Selain setia, ia pun tak pernah memanfaatkan keindahannya untuk menekanku demi mendapatkan kesenangannya. Tak seperti Priska, istri temanku, Bambang. Priska memang berdarah indo dan mungkin itu pula yang memberi nilai tambah bagi kecantikannya. Aku diperkenalkan Bambang dengannya saat mereka mengadakan pesta ulang tahun Frans, anak pertama mereka. Di situ aku langsung mengagumi kecantikan Priska.
"Tak ada lagi alasanmu untuk mengeluh dalam hidup ini, Mbang", godaku pada Bambang.
"Ah, kamu bisa saja, Wan", balasnya sambil mengumbar senyum.
Sembilan bulan setelah peristiwa itu, aku menemukan kejanggalan pada Bambang. Ia tampak sering uring-uringan. Pekerjaannya banyak yang terbengkalai. Hampir tak ada hari tanpa kata makian darinya yang ditujukan entah untuk siapa. Hal yang selama ini belum pernah kutemukan dari Bambang. Awalnya aku menganggap dia sedang cekcok dengan istrinya dan itu adalah hal yang biasa. Namun semua menjadi jelas ketika sebulan kemudian Rudi, teman kami, melihat Priska berangkulan dengan seorang laki-laki memasuki sebuah hotel bintang dua. Tiga minggu kemudian kudengar mereka bercerai.
Aku memperlambat laju kendaraan. Hujan mulai turun. Kulirik istriku masih asik dengan lelapnya. Sesekali kubetulkan letak jilbabnya. Entah mengapa, sepertinya aku begitu takut kehilangan dia. Meskipun hanya metamatkan pendidikan di sekolah menengah kejuruan, namun ia seperti begitu memahami hidup. Aku menyesal karena tidak dapat mencarikan biaya untuk melanjutkan pendidikannya. Padahal dulu ia termasuk pelajar yang berpotensi. Itu kesimpulanku ketika secara tak sengaja melihat ijazahnya. Pernah aku menanyakan padanya tentang keinginannya untuk kuliah. Namun ia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Sebagai seorang pegawai negara, gaji bulananku hanya cukup untuk membiayai kebutuhan yang penting-penting saja. Belum lagi ketiga orang anakku yang harus dibiayai. Kami sepakat bahwa mereka harus dapat mengecap bangku perkuliahan. Untuk itu, sejak pertama menikah, kami sudah mengumpulkan uang.
"Bang, Siska sudah senang, kok, dengan keadaan sekarang. Siska tidak ingin abang terlalu terbebani. O, ya, Bang, di lingkungan sini kan belum ada yang membuka warung, bagaimana kalau kita saja, Bang? Siska juga akan senang mempunyai kesibukan tambahan selama abang bekerja di kantor. Boleh, ya, Bang?" Pinta istriku saat kami sedang makan malam.
"Kalau Siska senang, ya, abang setuju saja. Tapi, apa kita sudah punya cukup uang untuk modal usaha?"
"InsyaAllah, Bang. Lagi pula Siska akan memulainya dengan menjual kebutuhan pokok dulu."
Aku sudah memasuki pusat kota kabupaten Bungo. Artinya, sebentar lagi aku akan sampai. Kembali kulirik istriku. Ia sedikit menggeliat, namun masih tetap pulas. Tiba-tiba ponselku berdering. Putra sulungku menelpon.
"Assalammualaikum. Ada apa, Ki?"
"Waalaikumussalam warahmatullah. Sudah sampai mana, Pa?" Ia balik bertanya.
"Bungo. Sebentar lagi insyaAllah sampai."
"Pa, om Ris meninggal."
"Hah! Innalillahi wainnailaihi rojiun. Kapan, Ki?"
"Satu jam yang lalu, Pa, di rumah sakit. Tapi sekarang jenazahnya sudah dibawa pulang. Oki sudah bilang bahwa papa dan mama lagi di kampung. Udah dulu, ya, Pa, Oki mau ke sebelah dulu. Assalammualaikum."
Aku menghempaskan nafas. Terbayang olehku sosok laki-laki putih semampai namun kurus. Aku langsung bisa menebak penyebab kematiannya, tekanan batin. Ia atasan sekaligus tetanggaku. Rumah kami berdekatan. Orangnya baik. Aku sering cemburu melihat keberuntungannya. Karirnya yang mulus semakin dilengkapi dengan hadirnya sosok istri yang berpendidikan tinggi. Kami resmi bertetangga menjelang istrinya mau melanjutkan studi pascasarjana. Peresmian rumah barunya di dekat rumahku dibuat meriah. Pesta itu sekaligus syukuran untuk istrinya yang akan melanjutkan pendidikan ketingkat magister. kebahagiaan tampak sekali di wajahnya.
Akan tetapi, ternyata kecemburuan itu tidak bertahan lama. Setelah istrinya menyelesaikan studi, babak baru dalam kehidupan mereka pun dimulai. Kalau dulu Ris hanya sering memanggilku ke ruangannya untuk urusan kantor, sekarang sudah bertambah dengan urusan rumah tangganya. Sebetulnya aku merasa risih untuk membicarakan itu. Posisiku sebagai bawahannya merupakan alasan utama. Namun akhirnya aku bisa juga untuk bersikap santai.
"Wan, aku tak tahan lagi menghadapi tingkahnya. Aku merasa semakin tidak dipedulikan. Dia semakin ngelunjak." Pias wajah Ris mengeluh padaku.
"Ris, barangkali dia ingin menunjukkan bahwa dia juga bisa sepertimu. Mungkin dia masih menikmati posisi barunya sebagai kepala bagian di kantornya." Aku sangat berhati-hati dalam berbicara, takut dia tersinggung.
"Wan, sekarang dia lebih sering pulang malam. Di rumah, pendapatku seolah tak di dengar lagi, emansipasi, katanya."
Ris menghisap rokoknya dalam-dalam, "katanya, dia juga ingin berarti di depan anak-anak. Tidak ingin seperti perempuan-perempuan lain yang hanya bisa bergantung kepada suami."
"Sebuah ironi, Wan. Di sini aku dihormati, tapi di rumah, ah, bahkan anak-anakku sudah mulai terpengaruh dengan dia, Wan. Rasanya aku lebih senang berlama-lama di sini dari pada di rumah, seperti neraka saja," keluhnya sambil menatapku.
Aku tak tega mendengarnya. Sebagai sesama laki-laki, aku dapat menyelami kepedihannya. Bagiku rumah adalah tempat terindah untuk memuarakan segala persoalan. Keluarga adalah penawar masalah yang menjangkiti hidupku. Aku setuju dengan anggapan orang tentang rumah ibarat surga. Di rumah, segala beban dan keputus-asaan dapat dinetralisasi.
"Aku tak tahu, Wan, entah sampai kapan aku dapat bertahan dalam keadaan ini." Dia kelihatan mulai putus asa.
"Jangan begitu, Ris. Setiap masalah ada jalan keluarnya. Bersabarlah. Aku mengerti perasaanmu. Tapi aku tak dapat berbuat banyak. Aku dan istriku juga tidak cukup dekat dengan istrimu. Hanya kamu yang paling kami kenal. Kudoakan semoga engkau dapat terbebas dari masalah ini."
Malamnya, kudengar kabar bahwa Ris masuk rumah sakit. Saat aku membesuknya ke sana, dia masih belum dapat menerima tamu. Kata dokter, darah tingginya kambuh. Esok harinya aku kembali ke rumah sakit. Beruntung dia sudah dapat ditemui. Lama sekali dia menatapku. Untung aku tidak sendiri. Aku bersama rekan-rekan sekantorku. Kehadiran kami sepertinya dapat menghiburnya. Aku senang melihat senyum di bibirnya yang pasi meskipun samar. Kami berusaha untuk tidak membahas hal-hal yang mungkin membuatnya sedih.
Aku dan istriku kembali lagi menemuinya bakda isya. Tepat di depan kamarnya, kulihat ke dalam melalui kaca bening di tengah atas pintu. Kulihat ia sendiri, tak tampak anggota keluarganya. Kuberanikan mengetuk pintu. Kami masuk. Ia tersenyum. Ia bercerita banyak hal malam itu, termasuk pertengkaran dengan istrinya yang membuat dia seperti sekarang.
"Kamu masih ingat kan, Wan, pembicaraan kita kemarin? Mungkin sebentar lagi aku akan benar-benar terbebas dari masalah ini."
Aku jadi risih. Aku menangkap nada pilu dari bahasanya. Sungguh aku tak tega mendengarnya.
"Kamu beruntung dapat istri seperti Siska. Meskipun tidak kuliah, tapi mampu membantumu mewujudkan surga impianmu."
Untung anaknya segera datang. Pembicaraan segera beralih ke topik lain. Cukup lama kami di sana. Sampai kami pulang, istrinya belum juga datang. Kata anaknya masih memantau persiapan untuk acara kantornya besok pagi.
Hujan telah mulai reda. Beberapa menit lagi aku sampai ke tujuan. Kembali kulirik istriku. Ia masih tidur. Entah apa yang sedang diimpikannya sekarang, aku tak tahu dan juga tak ingin tahu. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Tiba-tiba aku ingat ibu. Bagaimana kabarnya? Ah, sebentar lagi aku juga akan bertemu dengannya. Tapi, apakah ia masih tertekan dengan sikap bapak? Bapak memang tipe lelaki yang keras hati. Ia pantang ditentang. Apa yang dikatakannya, itulah peraturan. Ibu sering bercerita padaku tentang pengalamannya dengan bapak. Tapi ibu tak pernah berani mengeluarkan pendapatnya. Bapak gampang tersinggung, katanya. Memang, kalau bapak sudah uring-uringan, maka semuanya bisa kena imbasnya.
"Wan, kamu kalau sudah menikah nanti, pandai-pandailah dengan istrimu. Meskipun kami perempuan, tapi kami juga punya keinginan untuk berarti dalam rumah tangga. Kami juga punya harapan tentang penghargaan dan rumah tangga. Coba kalau dulu ibu tamat es-em-a, mungkin ibu akan jadi orang kantoran pula seperti bapak. Si Marni yang tamat es-em-a bisa kerja di kelurahaan. Bapakmu itu kan tidak sering pusing lagi dengan urusan duit karena ibu juga dapat duit," keluh ibu suatu kali saat aku masih kuliah.
"Eh, Bang, sudah hampir sampai, ya. O, habis hujan, ya." Istriku sudah bangun.
Aku hanya memberikan sebuah senyum untuk semua pertanyaannya. Kulirik dia. Ia asik memandang rumah dan pepohonan di kiri jalan. Tiba-tiba aku menjadi gelisah. Aneh, aku tak sanggup memandangnya lama-lama. Aku gugup. Kupalingkan tatapan ke depan. Aku takut suatu saat Siska menjadi asing bagiku, entah mengapa. Aku merasa ingin bercerita tentang semua pengalaman ini kepada siapa saja, tetapi bukan kepada Siska. Sial! Mengapa aku jadi seperti ini? Mengapa aku jadi berpikiran yang bukan-bukan tentang Siska? Bukankah aku telah lama mengenalnya, tapi kenapa sekarang aku menjadi…? Ah! Perasaan apa ini? Mengapa aku begitu khawatir kalau dia akan menjadi salah satu dari perempuan-perempuan itu? Aku harus bercerita! Harus!
Kutekan lagi pedal gas. Aku hanya memandang ke depan. Jauh, jauh sekali.


1 komentar:

  1. 888 casino - Dr. McD
    888 Casino. 888 casino. 888 casino. 888 군산 출장안마 casino. 충주 출장마사지 888 casino. 888 당진 출장안마 casino. 888 화성 출장마사지 casino. 아산 출장안마 888 casino. 888 casino. 888 casino.

    BalasHapus