11.13.2008

KARYA YANG MENCERDASKAN
Oleh: Afriyendy Gusti

Membicarakan karya sastra seperti cerpen, puisi, novel, dan novel merupakan pekerjaan yang tidak (akan) pernah selesai. Ini merupakan konsekuensi logis dari perjalanan karya sastra itu sendiri. Kritik akan terus ada selama karya sastra eksis sebagai salah satu anasir pembangunan sosial. Sebagaimana telah diketahui bahwa pembicaraan mengenai karya sastra sendiri telah berlangsung selama berabad-abad. Bahkan mungkin secara genesis pembicaraan tentang karya sastra telah terjadi sebelum karya itu ada, namun mungkin dengan penamaan yang berbeda.


Di Indonesia, sebelum hadirnya karya sastra modern, sastra daerah telah lebih dahulu memberikan kontribusi dalam pembangunan manusia. Produk-produk budaya sebagai hasil dari local genius, dianggap cukup mampu untuk menerangkan situasi pada masanya. Hal ini disebabkan karena anggapan bahwa karya sastra merupakan representasi peristiwa pada masa karya itu dibuat. Karya sastra merupakan cerminan realitas. Aspek imajinasi memang realitas sebuah karya, namun ia sangat berhubungan dengan sistem sosial yang ada. Kehadiran cerita rakyat, mitos, legenda, dan seni pertunjukan daerah dapat memberikan gambaran tentang perjalanan sebuah peradaban.
Kehadiran pengarang sebagai pencipta karya, merupakan satu entitas yang tidak akan bisa melepaskan diri dari sistem sosial. Rekayasa yang dilakukan pengarang tetap bertolak dan mempertimbangkan masyarakat, meskipun berdasarkan sudut pandangnya sendiri. Nyoman Kutha Ratna (2004:329) menyatakan bahwa karya sastra mengandung aspek-aspek kultural, bukan individual. Masalah-masalah yang diceritakan adalah masalah-masalah masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, penelitian terhadap karya sastra pada dasarnya identik dengan meneliti seluruh aspek kehidupan sebagaimana diungkapkan melalui bahasanya masing-masing.
Di dalam karya sastra sendiri, minimal ada dua nilai yang dapat ditemukan yakni nilai estetika dan nilai sosial. Nilai estetika merupakan nilai keindahan baik dari segi kata-kata, pengaluran, dan sebagainya. Nilai estetika ini merupakan nilai dasar yang melekat pada karya sastra itu sendiri yang berasal dari istilah susastra yaitu kata-kata yang indah. Nilai sosial dapat ditemukan melalui pembacaan terhadap karya secara utuh. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa nilai sosial adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui sebuah karya. Nilai ini tentu berhubungan dengan dunia masyarakat. Secara implisit Culler (dalam Ratna:2004) menyebutkan bahwa lukisan melalui kata-kata tertentu akan menghasilkan dunia tertentu, ‘words’ akan menghasilkan ‘world’, sebagai dunia dalam kata. Sehubungan dengan nilai sosial di atas, melalui penokohan, pengaluran, dan latar dapat dibaca dunia seperti apa yang dilukiskan atau ingin ditawarkan dalam sebuah karya sastra.

Karya Sastra dan Kecerdasan
Salah satu pengertian kecerdasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah perbuatan mencerdaskan; kesempurnaan perkembangan akal budi. Kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar. Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain.
Sebagai makhluk sosial, individu membutuhkan individu-individu lain. Oleh karena itu akan terjadi interaksi antarindividu. Selama proses itu tetap berlangsung ada norma-norma yang berlaku. Norma-norma tersebut akan terkonvensikan menjadi sebuah peraturan baik secara tertulis ataupun tidak tertulis (stereotip). Pelanggaran terhadap norma tersebut akan berakibat pemberian sanksi. Persoalan inilah yang pada umumnya terdapat dalam sebuah karya sastra. Karya sastra sebagai salah satu produk literer yang memuat perilaku individu, masyarakat, dan lingkungan sarat dengan pesan-pesan moral tersebut.
Bagaimana cara karya sastra mencerdaskan? Sebagai produk literer, karya sastra dapat dinikmati dengan cara membacanya. Pembaca biasa tentu tidak akan mendapat nilai tambah selain kesenangan semata. Artinya, pembaca jenis ini tidak melakukan penelaahan terhadap teks. Kelompok ini hanya akan melihat teks sebagai teks, tanpa tendensi apapun. Pembaca yang lain adalah pembaca yang sekaligus memberikan apresiasi terhadap teks yang dibacanya, menghubungkan antara teks dengan konteks. Pembacaan yang mempertimbangkan fungsi kogsnisi, afeksi, dan psikomotor. Pembaca seperti inilah yang kelak berpeluang memperoleh eskalasi pada kecerdasan intelektual dan emosionalnya.
Sebagai homo saphien, manusia diidentikkan dengan fungsi pikiran yang merupakan kelebihannya dari makhluk lain; aku berpikir maka aku ada kata Rene Descartes. Pemanfaatan pikiran inilah yang sebenarnya diharapkan dalam pembacaan karya sastra. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kerjasama dalam banyak hal termasuk dalam pengalaman. Kedua hal ini merupakan aspek dasar yang mesti dipunyai ketika melakukan pembacaan terhadap sebuah karya. Setiap individu mempunyai pengalaman yang cenderung berbeda dengan invidu lain. Konsekuensi logisnya adalah terjadinya perbedaan penafsiran dalam banyak hal, termasuk pada karya sastra. Akan tetapi, sebuah karya tak hendak menawarkan sebentuk penyeragaman. Karya sastra lebih cenderung memaparkan sebuah opini yang muaranya adalah pembaca.
Setiap individu biasanya hidup dengan berpegangan dengan kebenarannya masing-masing. Untuk itu, diperlukan sebuah media kontrol agar kebenaran individu tersebut tidak berbenturan dengan kebenaran yang dipercayai oleh individu lain. Diperlukan kesepakatan bersama yang bersifat mutualisme. Di sinilah sesungguhnya salah satu peranan karya sastra. Karya sastra bukanlah sebuah lembaga penghakiman salah dan benar ataupun baik dan buruk, namun semuanya dikembalikan kepada pembaca. Di sinilah kecerdasan pembaca berperanan. Artinya, pembaca bukan lagi sebagai objek, tapi sudah berubah menjadi subjek.
Kedudukan pembaca sebagai apresiator ini berhubungan erat dengan kecerdasan intelektual dan emosional. Kecerdasan intelektual berguna untuk memahami karya sastra seperti pada aplikasi teori-teori pembahahasan karya sastra sedangkan kecerdasan emosional berguna untuk menanggapi ide-ide yang terdapat dalam karya tersebut dengan mempertimbangkan nilai-nilai dan sistim sosial yang berlaku. Dengan kata lain, pembacaan terhadap sebuah karya sastra tidak dapat dilakukan dengan baik apabila pembaca belum memiliki dua kecerdasan tersebut.
Dengan demikian, karya sastra hadir tidak hanya menawarkan sebuah pengalaman kepada pembaca, namun ia berfungsi untuk merangsang kecerdasan intelektual di satu sisi dan kecerdasan emosional pada sisi yang lain. Setelah itu, baru didapatkan peranan karya sastra sebagai karya yang memiliki fungsi dulce et utile.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar