11.13.2008

Pahlawanku Sayang Pahlawanku Malang
Sebuah catatan dari pementasan “Monumen”

Oleh: Afriyendy Gusti, S.S.

Ternyata, pahlawan bukan lagi sosok yang mampu mewariskan semangat melanjutkan perjuangan, namun telah terdegradasi menjadi sebuah artefak yang memiliki nilai ekonomi. Selanjutnya, bila nilai ekonominya tersebut tak dapat lagi bersaing dengan komoditi yang lain, maka maaf-maaf saja jika pahlawan pun tak luput dari konsekuensi pembangunan, penggusuran. Barangkali, kita mesti merumuskan kembali defenisi pahlawan. Demikian salah satu pesan yang dapat ditangkap dari pementasan “Monumen” oleh teater AiR pada Sabtu malam, 13 Mei yang lalu.
Indra Tranggono, penulis naskah ini seolah berasumsi bahwa tangis tak lagi cukup untuk mengungkap kesedihan yang teramat dalam. Kesedihan terdalam mungkin masih dapat diungkapkan dengan menertawakan diri sendiri dengan segala ketidakberdayaan untuk mempertahankan nilai-nilai ideal dari sebuah kepahlawanan. Hal itu terlihat dari dialog-dialog yang cenderung berbau komedi, namun sesungguhnya mengungkap luka yang teramat satir. Semangat kepahlawanan yang disimbolkan dengan kehadiran sebuah monumen, lebih merupakan sebuah presentasi kebanggaan yang rapuh. Bangga karena di daerah tersebut juga melahirkan tokoh-tokoh yang dengan gagah dan berani berjuang untuk kemerdekaan sehingga tidak tertinggal dengan daerah-daerah lain, namun rapuh karena tidak lagi diikuti oleh etos filosofis pendirian monumen tersebut.


Beragam Kepentingan
Di dalam pementasan yang berdurasi lebih kurang sembilan puluh menit itu, nyata sekali bahwa segala lakon yang muncul membawa kepentingannya masing-masing. Ada tokoh yang menyakralkan monumen tersebut untuk kepentingan mencari popularitas dan uang. Secara simultan, lokasi tempat monumen tersebut didirikan juga menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dengan segala urusan, mulai dari copet sampai tempat pacaran. Hal yang lebih menyedihkan adalah dengan onggokan sampah yang berada pada sisi kiri monumen, dekat sekali. Ironis sekali, pada satu sisi bernuansa sanjungan dan kebanggaan, pada sisi yang lain bermakna tak berguna atau ampas.
Di pertengahan cerita, masuk tokoh baru yang ingin menjadikan monumen tersebut sebagai aset wisata unggulan. Dasar pikirannya sederhana, memperkenalkan sejarah kepahwanan di daerah tersebut kepada turis. Dengan demikian, akan didapatkan dua keuntungan sekaligus, yakni menambah inkam dan sekaligus mengangkat wibawa daerah karena menghargai pahlawan. Untuk itu, monumen harus dipugar karena status pahlawan harus dinaikkan dulu dari pahlawan lokal menjadi pahlawan nasional. Akan tetapi, lagi-lagi masalahnya adalah nilai jual. Dari lima patung pahlawan yang ada, yakni patung Cempluk, Durmo, Ratri, Sidik, dan Wibagso, hanya dua yang dapat dipertahankan. Tiga tokoh lain tidak lolos seleksi sebagai pahlawan nasional untuk monumen berikutnya.
Pada bagian akhir, masuk tokoh kepala kota praja yang baru. Visi dan kepentingannya pun ikut berubah. Monumen yang sebelumnya direncanakan untuk objek wisata kini direncanakan sebagai tempat untuk mendirikan mall. Keuntungan pribadi yang menggiurkan menjadi alasan utama untuk memberikan izin. Akhirnya, monumen pun digusur. Tidak tanggung-tanggung, monumen tersebut digusur dengan menggunakan buldozer. Serpihan patung pahlawan seolah menyatu dengan onggokan sampah di sebelahnya. Untung saja di monumen tersebut tidak terdapat tulisan ‘Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang Mampu Menghargai Jasa Para Pahlawannya’.

Beristirahat dalam Damai(?)
Barangkali harapan ini hanya tinggal harapan. Jasad lima pahlawan pada monumen tersebut ternyata berontak. Untung saja manusia tidak mempunyai kemampuan mengetahui kehidupan arwah sehingga bisa dengan leluasa (tanpa merasa berdosa) berbuat semaunya terhadap semua yang tidak bernyawa.
Namun tidak demikian dalam pementasan malam itu, roh para pahlawan ternyata tidak dapat menerima perlakuan tersebut. Mereka kecewa, sakit hati, dan marah dengan kenyataan yang mereka dapatkan. Monumen tersebut ternyata tak murni lagi untuk mengenang jasa mereka, namun tak lebih dari sebuah legitimasi prestise dan kepentingan orang-orang yang masih hidup. Perjuangan mereka untuk kemerdekaan ternyata telah dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Persoalan yang lebih mengharukan adalah dengan adanya dikotomi pahlawan lokal dan nasional. Bukankah semuanya berperang untuk satu tujuan, kemerdekaan?
Akan tetapi, arwah tetaplah arwah. Jerit pilu mereka tetap tidak mampu ditangkap oleh manusia. Dunia adalah milik makhluk hidup (manusia). Jadi, apapun yang mereka lakukan, ya, sah-sah saja. “Persoalannya mungkin terletak dari sudut pandang manusia itu sendiri bagaimana cara memaknai hidup. Toh, mereka akan menjadi arwah juga”, kata seorang kawan.

Segenggam Asa
Secara keseluruhan pementasan ini telah mampu menunjukkan kelasnya sendiri dengan keberhasilannya menyampaikan pesan kepada penonton. Animo penonton yang memadati gedung pertunjukan juga menjadi bukti bahwa pementasan ini mendapatkan nilai sukses. Meskipun masih terdapat beberapa persoalan teknis yang agak menggangu selama pementasan berlangsung. Dialog beberapa tokoh yang kurang terdengar membuat naskah tidak tereksploitasi secara maksimal. Durasi pertunjukan yang relatif panjang juga cukup melelahkan. Namun pemain mampu menyelesaikannya dengan baik. Sayangnya, ekplorasi dan improvisasi terhadap panggung terasa kurang maksimal. Hal ini terlihat dari ada beberapa sisi panggung yang tidak terjamah pemain dan beberapa properti di atas panggung yang tidak dimanfaatkan sehingga cenderung menjadi properti mati.
Terlepas dari persoalan teknis di atas, pesan filosofis dari pementasan tersebut tetap memberikan daya pikat yang kuat. Merujuk kepada apa yang telah dituliskan oleh Milan Kundera, “Bangsa yang kehilangan kesadaran akan masa lalunya perlahan-lahan akan kehilangan dirinya. Begitulah, situasi politik dengan kejamnya telah menjelaskan masalah lupa metafisik biasa yang kita hadapi sepanjang waktu, setiap hari, tanpa sedikit pun memerhatikannya. Politik membuka metafisika kedok kehidupan pribadi, kehidupan pribadi membuka kedok metafisika politik”, sepertinya pementasan tersebut ingin mengingatkan kembali kepada kita semua untuk berhati-hati dengan satu penyakit yang mulai mewabah, melupakan sejarah. sedemikian pentingnya persoalan ini, Bung Karno pun pernah berpesan tentang Jasmerah; jangan sekali-kali melupakan sejarah. Politisasi sejarah juga akan berujung pada sebuah akhir yang tragis.
Pada akhirnya, terdapat nilai-nilai yang baik untuk dipikirkan kembali setelah menyaksikan pementasan ‘Monumen’ yang disutradarai oleh E.M. Yogiswara ini. Sejarah. Kepentingan pribadi dan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab telah menjadikan tatanan yang demikian baik menjadi rumit. Persoalannya, apakah kita benar-benar hidup ataukah hanya jasad yang berjalan. Tanya kenapa?

1 komentar:

  1. Sands Casino: NJ Online Casino | Play Slots & Games
    Play the 메리트 카지노 쿠폰 best online slots at Sands Casino in 메리트 카지노 New Jersey septcasino and get $1500 bonus! We have over 80+ top online slots, table games and live dealer

    BalasHapus