12.01.2008

Legenda Padi Sebesar Kelapa

Dahulu kala di daerah Teluk Pandak terdapatlah sebuah padi sebesar buah kelapa. Masyarakat setempat tidak pernah tahu dari mana asalnya. Padi itu ditemukan oleh seorang penduduk di sekitar rumahnya. Padi yang ditemukan itu bukanlah padi lengkap dengan batangnya, namun hanya sebuah biji padi sebesar kelapa lengkap dengan cangkangnya. Penduduk Teluk Pandak percaya bahwa padi itu merupakan titisan dari Dewi Sri. Mereka seperti mendapatkan berkah dengan turunnya padi itu ke tempat mereka.
Saat musim tanam tiba, masyarakat membawa padi sebesar kelapa tersebut ke sawah yang akan ditanami. Setelah padi di tanam, masyarakat berkumpul untuk melakukan doa bersama agar padi yang ditanam mendapat berkah dari Tuhan. Sekelompok muda-mudi membawakan tari Dewi Sri. Tarian itu diiringi oleh lagu yang bersyair doa dan pujian kepada Tuhan. Lagu itu mereka namakan dengan Nandung. Kulit padi mereka pukul-pukul sebagai gendang pengiring tarian Dewi Sri.
Waktu terus berjalan. Musim panen pun tiba. Masyarakat kembali berkumpul dan bersama-sama melakukan panen. Panen pertama ini mereka lakukan hanya untuk sebagian kecil padi yang akan digunakan untuk acara makan bersama. Saat akan menuai padi, mereka menimang-nimang padi titisan Dewi Sri itu sambil melantunkan puji-pujian kepada Tuhan atas keberhasilan tanaman mereka. Padi yang sudah dituai kemudian diirik dengan kaki. Setelah itu padi dijemur. Setelah menjadi beras, padi itu dimasak dan dipersiapkanlah sebuah acara makan bersama. Dalam acara itu padi sebesar kelapa itu kembali dibawa. Sebelum makan mereka melagukan syair-syair yang intinya adalah syukuran, doa mohon keberkahan, dan keselamatan kepada Tuhan. Acara makan pun selesai. Keesokan harinya masyarakat secara bersama-sama memanen seluruh padi.
Setelah seluruh padi selesai dipanen, tumbuhlah anak padi dari bekas batang padi yang tinggal. ini lebih kecil. Mereka menamakan padi yang lebih kecil itu dengan Salibu. Padi itu ukurannya lebih kecil dari ukuran padi biasa. Salibu itu kemudian di panen. Setelah dipisahkan dari cangkangnya, Salibu kemudian digonseng dan ditumbuk hingga berbentuk emping. Proses menggonseng hingga menumbuk Salibu dilakukan oleh muda-mudi dari sore hingga malam hari. Selama proses itu tidak jarang ada muda-mudi yang akhirnya berjodoh. Emping dari Salibu kemudian dimakan bersama-sama dalam acara pernikahan muda-mudi yang berjodoh itu.


11.18.2008

Legenda Batu Kerbau

Pada suatu waktu, Datuk Senaro Putih dari Tanah Datar Alam Minangkabau akan melakukan ekspedisi. Rute Ekspedisi sang datuk adalah menyisir Alam Sakti Kerinci, tembus ke Air Liki Hulu Batang Tabir. Kemudian memudik Batang Pelepat dan berlabuh di Gunung Rantau Bayur. Tanah cocok, udara serasi, maka ditempat inilah Datuk Senaro Putih dan rombongan berdiam, berkebun, beternak, dan sebagainya. Berdaulatlah Datuk Senaro Putih sebagai Penghulu Negeri dan namanya terngiang sampai ke raja Jambi di Tanah Pilih.
Hari berganti bulan. Bulan berganti tahun dan tahun berganti masa. Suatu ketika istana gempar, ternak kesayangan raja, Napuh Bertaduk Emas hilang tak tentu rimbanya. Hulubalang, panglima, dan pemburu tangguh tak mampu menisik rimba menguak semak mencari Napuh Bertanduk Emas itu. Ahli nujum negeri meramal pencarian harus mengilir sungai.
Tak ada pilihan. Datuk sendiri yang harus turun tangan. Sang permaisuri Putri Jumilah juga ikut serta. Sebagai bekal di jalan, rombongan mengilir dengan membawa sembilan puluh sembilan ekor kerbau. Dalam suatu tempat perjalanan, rakit Datuk Senaro Putih terpaksa meliuk dihadang batu yang menonjol kepermukaan. Bila dalam masa rekreasi, meungkin liukan perahu disela bebatuan akan menambah romantis. Bak arung jeram yang hiruk pikuk dengan jeritan tantangan dan deburan air, maka Datu Senaro Putih juga melengking menggeledek suaranya. Batu-batu yang menonjol itu seolah menghadang perjalanannya. Dasar sedang emosional kehilangan Napuh Bertanduk Emas, Datuk Senaro Putih melambung dari atas rakit dan seperti elang menyambar seluang kakinya menjejak tujuh batu melesak ke dasar sungai. Memburai air mengikuti patahan kerak bumi. Jadilah di sana air terjun bertangga tujuh, kini disebut air terjun Tujuh Takak.
Setelah Putri Jumilah melerai amarah Datuk Senaro Putih, pelayaran dilanjutkan. Pada suatu lubuk, subang sang istri terjatuh dan tenggelam. Lubuk itu bernama Lubuk Subang. Di tempat lain pula, seekor kucing milik datuk tercebur jatuh dan hilang ditelan pusaran. Lubuk itu digelari Lubuk Kucing.
Rintangan lain masih menghadang. Tak tahu apa sebabnya kerbau-kerbau Datuk Senaro Putih lintang pukang serabutan terju ke lubuk. Pengirin datuk kalang kabut menarik kerbau-kerbau yang tak mau naik kembali. Sekuat menarik ke atas, sekuat itu pula kerbau tersedot ke dalam, ibarat batu beratnya. Puncak sumpah Datuk Senaro Putih menghujat kerbau seperti batu-batu. Bak sesakti Pahit Lidah atau mungkin saat itu melintas si Pahit Lidah, maka jadilah kerbau-kerbau itu menjadi batu. Tempat dimana kerbau terjatuh dan menjadi batu disebutlah sebagai Lubuk Batu Kerbau.
Untuk meringankan perjalanan, sebagian pengiring Datuk Senaro Putih berdiam di sekitar Lubuk Perkembangan. Kemudian jadilah sekitar daerah itu pusat pemukiman dan cikal bakal desa Batu Kerbau.
Setelah sekian lama mencari Napuh Bertanduk Emas, hasilnya tetap nihil. Sampai pada suatu ketika tersiar kabar bahwa ternyata Napuh Bertanduk Emas ada pada raja Jambi. Saat kerbau itu diminta, raja Jambi tidak mau memberikan. Sebagai gantinya raja Jambi memberi sebidang tanah di hilir berbatasan dengan Rio Maliko, Lubuk Tekalak. Di mudik berbatasan dengan Batu Kijang Alam Kerinci.


GADIS BERAMBUT PANJANG

Gadis berambut panjang adalah cerita yang berasal dari Desa Air Liki, Dusun Renah Kepayang, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin. Cerita ini juga sudah berkembang di daerah lain di Kabupaten Merangin. Bukti fisik berupa rambut panjang tersebut masih dapat ditemukan hingga sekarang.
Rambut ini disimpan dan dirawat oleh Rosdiana, keturunan ke sembilan dari pemilik asli rambut panjang tersebut. Rambut itu sendiri sendiri memiliki panjang ±2.5 meter. Rambut panjang tersebut berbentuk jalinan dan besarnya ± dua jari orang dewasa. Pada bagian ujung rambut tersebut terbentuk sebuah rongga. Menurut ahli waris, rongga tersebut merupakan tempat bersarangnya seekor lipan putih penjaga Si Kusuk. Keunikan lain dari rambut tersebut ialah tidak diketahuinya bagian awal dan akhir jalinan rambut tersebut. Namun, bagian pangkal dan ujung rambut masih dapat diketahui. Bagi keturunan Si Kusuk, rambut tersebut juga dinamakan dengan Sarang Tampuo.
Pemilik rambut panjang tersebut bernama Si Kusuk. Ia berasal dari daerah Muaro Lolo, Kabupaten Kerinci. Ia adalah seorang perempuan yang unik. Selain berciri fisik seperti laki-laki, yakni bertubuh tinggi besar, Si Kusuk hanya mempunyai satu buah payudara yang terletak di bagian tengah dadanya. Rambut panjang Si Kusuk hanya tumbuh di bagian ubun-ubunnya. Sementara pada bagian kepala yang lain hanya ditumbuhi oleh rambut layaknya pada manusia biasa. Konon, rambut itulah sumber kesaktiannya. Rambut yang panjang tersebut digulung dan dikonde. Untuk penguncinya, tusuk konde, ia menggunakan sebuah pisau. Si Kusuk berangkat dari Muaro Lolo dengan membawa enam orang pengawal. Keenam pengawalnya tidak mengetahui bahwa Si Kusuk sebenarnya adalah seorang perempuan. Sebaliknya, mereka menyangka bahwa tuan mereka adalah seorang laki-laki. Sesampainya di Desa Air Liki, Si Kusuk memutuskan untuk berdiam di sana.
Pada malam harinya, Si Kusuk mengadakan pertemuan dengan keenam pengawalnya. Ia ingin mengetahu tingkatan usia mereka. Setelah diketahui, akhirnya Si Kusuk membeberkan jati dirinya yang sebenarnya. Setelah itu, ia menyampaikan niatnya untuk menikahi pengawalnya yang berusia paling tua. Dan mereka pun menikah.
Pada malam setelah pernikahan mereka sudah tidur bersama dalam satu kamar. Akan tetapi, pagi harinya diketahui ternyata suami Si Kusuk sudah meninggal dunia. Setelah dikuburkan, Si Kusuk menikah lagi dengan pengawalnya yang tersisa yang usianya paling tua di antara mereka. Akan tetapi, kejadian serupa suami yang pertama terjadi lagi. Suami ke dua Si Kusuk ditemukan meninggal pada pagi setelah hari pernikahan. Hal itu terus berulang hingga lima dari enam orang pengawal Si Kusuk telah meninggal setelah dinikahinya.
Sampailah akhirnya giliran pengawalnya yang terakhir. Akhirnya mereka pun menikah. Pengawal Si Kusuk yang terakhir ini sudah menyimpan kecurigaan tentang peristiwa kematian kelima kawan-kawannya yang sebelumnya dinikahi oleh Si Kusuk.
Pada malam hari setelah menikah, ia tidak langsung masuk ke kamar. Ia pura-pura bekerja menganyam, membuat lukah dari rotan. Ketika Si Kusuk sudah tidur, ia pun menuju kamar. Sesampai di dalam kamar, ia melihat ada seekor lipan putih yang menjalar di badan Si Kusuk. Ia pun segera mengambil kayu untuk membunuh lipan tersebut. Namun, sesaat sebelum dipukul Si Kusuk bangun dan langsung melarangnya membunuh lipan tersebut. Sebagai gantinya, Si Kusuk memberikan obat penawar apabila digigit oleh lipan tersebut. Atas permintaan Si Kusuk, suaminya tidak jadi membunuh lipan tersebut. Akhirnya, mereka pun berhasil memperoleh keturunan. Hingga suatu saat Si Kusuk merasa bahwa waktunya di dunia ini sudah berakhir, ia pun mengumpulkan anggota keluarganya dan menjelaskan perihal tersebut. Sebelum meninggal, ia memotong sendiri rambut yang panjang tersebut karena memang hanya dia yang bisa memotong rambut tersebut. Setelah rambut itu dipotong barulah ia meninggal dunia.
Setelah Si Kusuk meninggal, rambut sekaligus pisau yang digunakan sebagai penguncinya disimpan oleh keluarganya di dalam sebuah kotak dan diletakkan di bubungan bagian atas rumah. Setiap lebaran Idulfitri, keluarga Si Kusuk membersihkannya dengan cara dilimaukan, yaitu mencucinya dengan menggunakan beberapa jenis kembang yang dicampur dengan jeruk nipis.
Ada beberapa kejadian unik yang dialami oleh keturunan Si Kusuk sehubungan dengan rambut tersebut. Di dekat rumah mereka ada pohon durian yang hampir jatuh. Melihat kemiringannya, apabila pohon tersebut jatuh niscaya menimpa rumah mereka. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengeluarkan seluruh isi rumah agar tidak hancur tertipa runtuhan pohohn. Namun, rambut panjang tetap ditinggalkan di rumah tersebut. Alasan mereka meninggalkan rambut tersebut adalah sebagai sebuah pengujian apakah rambut tersebut juga memiliki kesaktian meskipun pemiliknya sudah meninggal. Ternyata memang muncul sebuah keanehan, pohon durian yang semula dipastikan bakal menimpa rumah tersebut ternyata jatuhnya tidak mengenai rumah tersebut. Keanehan lain dari rambut tersebut adalah ketika rambut tersebut dipamerkan dalam ajang pameran di Kota Jambi. Ternyata kakak Pak Said, seorang keturunan Si Kusuk, orang yang membawa rambut tersebut, jatuh sakit dan akhirnya meninggal dengan penyakit yang tidak diketahui. Menurut Pak Said, korban meninggal dengan kondisi seluruh tubuh membengkak. Sementara itu, orang yang satu lagi mengalami kelainan jiwa, namun akhirnya berhasil diobati oleh paranormal.paranormal tersebut mengatakan bahwa penyebab keadaan orang tersebut adalah akibat membawa untuk memamerkan rambut tersebut tanpa disetujui secara ikhlas oleh seluruh keturunan Si Kusuk.
Pisau yang digunakan sebagai pasak rambut panjang itu juga memiliki keanehan. Pernah suatu kali pisau tersebut dijual oleh salah seorang anggota keluarga. Namun, tidak berapa lama pisau tersebut sudah ditemukan kembali di dalam peti tempat rambut panjang itu disimpan. Keanehan lain adalah pada saat seorang lagi keturunan Si Kusuk tertarik untuk memakai pisau tersebut. Maka ia membuatkan sarung untuk pisau tersebut lengkap dengan kopelnya untuk dililitkan di pinggang. Namun, tidak berapa lama setelah pisau itu dibawa, bagian pinggang orang tersebut terkena penyakit semacam koreng yang menyebabkan ia meninggal dunia. Keanehan ketiga yang mereka alami sehubungan dengan pisau tersebut adalah saat Pak Said mengantarkan kakaknya menemui penghulu kampung. Kakaknya tersebut sedang berada dalam masalah karena telah melarikan anak gadis orang untuk diajak menikah sehingga keluarga dan kerabat gadis tersebut berniat mencari dan mencelakakan kakaknya. Namun, Pak Said memberanikan diri membantu kakaknya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebelum berangkat ia tidak lupa membawa pisau tersebut. Selama diperjalanan, ternyata mereka tidak berhasil ditemukan oleh orang yang mencari kakaknya dan meskipun jalan yang mereka lalui banyak terdapat serangga, namun mereka tidak digigit oleh seekor serangga pun.

LEGENDA LUBUK BUJANG GADIS

Dahulu kala hiduplah seorang bujang yang digelari oleh masyarakat dengan Bujang Tuo. Gelar itu dilekatkan kepadanya karena usianya yang sudah tidak muda lagi, namun ia tak kunjung menikah. bujang Tuo cukup gagah, apalagi ia memiliki tubuh yang kekar. Bujang Tuo tinggal di desa Senamat Ulu. Desa itu terletak di hulu batang Senamat. Penduduk desa Senamat Ulu tidak terlalu banyak. Mereka hidup dengan mencari ikan di Batang Senamat dan sebagian ada yang bercocok tanam.
Orang tua Bujang Tuo sebenarnya sudah lama menyinggung soal pernikahan kepadanya, namun ia tidak begitu menanggapinya. Bagi Bujang Tuo jodoh ada di tangan Sang Pencipta. Bujang Tuo adalah anak yang suka bekerja. Hal ini yang membuatnya tidak begitu terbebani dengan keinginan untuk menikah.
Untuk kesekian kalinya bertanyalah ibu Bujang Tuo kepadanya, "Kapan lagi kau nak menikah, Bujang, sudah rindu rasanya kami nak menimang cucu."
"Sudahlah, Mak, biar Tuhan yang berkehendak. Aku pun hendak, namun tak mungkin bila tiada rasa," jawab Bujang Tuo.
"Tapi, bagaimana dengan orang kampung. Rasanya sakit telinga Mak mendengar gunjingan mereka."
"Sabarlah, Mak. Aku pun begitu."
Bujang Tuo pamit kepada orang tuanya untuk berjalan-jalan menenangkan pikiran. Iba hati orang tuanya melihat nasib anak satu-satunya itu. Mereka tahu bahwa Bujang Tuo lebih tertekan dengan sindiran penduduk kampung, namun mereka tak dapat berbuat banyak. Mereka hanya dapat berdoa agar Bujang Tuo segera mendapatkan jodoh dan menikah.
Bujang Tuo pergi ke Batang Senamat. Dilepasnya pautan rakitnya dan ia mulai menyusuri Batang Senamat. Gundah juga hatinya memikirkan persoalan itu. Sebetulnya ia juga ingin untuk menikah, namun ia tidak mau menikah dengan gadis yang tidak disukainya. Selama ini Batang Senamat merupakan tempat pelarian keluh kesahnya. Hamparan hutan dan bukit di kiri kanan Batang Senamat seolah memberikan ketenangan kepadanya. Ia sering berlayar jauh untuk mengobati luka hatinya. Saat ini kata hatinya ingin pergi ke desa Senamat yang terletak di hilir Batang Senamat.
Dalam perjalanannya, Bujang Tuo sering bersenandung untuk menghibur diri. Ia begitu mengagumi kebesaran Tuhan yang telah menciptakan alam yang begitu indah, namun ia juga sering berkeluh kesah kepada Tuhan mengapa belum juga ada jodoh untuk dirinya.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba ia mendengar suara perempuan menyanyi. Suara itu berasal dari bukit di sisi Batang Senamat. Namun suara itu tidak terdengar lagi ketika ia ingin menghentikan rakitnya. Ingin rasanya Bujang Tuo pergi ke sana, namun ia juga takut kalau itu hanya igauannya. Lama ia menunggu suara itu, namun tidak terdengar juga. Akhirnya Bujang Tuo melanjutkan perjalanannya. Namun ia masih memikirkan peristiwa tadi. Ia masih penasaran dengan suara itu.
Keesokan harinya ia kembali melewati tempat itu. Sesampai di sana ia kembali mendengar suara perempuan menyanyi, namun lebih mirip suara tangisan. Ketika Bujang Tuo akan menghentikan rakitnya suara itu kembali hilang. Bujang Tuo semakin penasaran. Namun ia masih belum berani untuk menaiki bukit tempat suara itu berasal. Ia takut kalau suara itu adalah miliki penunggu bukit itu. Bulu kuduknya berdiri dan ia kembali melanjutkan perjalanannya. Sesampai di rumah Bujang Tuo tak bisa tidur. Ia masih penasaran dengan peristiwa di Batang Senamat itu. Ingin rasanya ia pergi ke bukit itu, namun ia takut kalau itu bukan suara manusia melainkan penghuni bukit itu. Tetapi selama perjalanannya ke desa Senamat, baru hari itu ia mendengar suara perempuan menyanyi. Bujang Tuo semakin penasaran. Setelah lama merenung, akhirnya ia berjanji bila besok masih mendengar suara itu, maka ia akan menaiki bukit itu.
Keesokan harinya ia kembali melewati bukit itu dan ia kembali mendengar suara perempuan menyanyi. Dengan cepat Bujang Tuo menepikan rakitnya dan menaiki bukit mencari sumber suara itu. Suara itu semakin jelas didengarnya. Perlahan Bujang Tuo mengintip dari balik daun-daun siapa gerangan yang sedang menyanyi itu. Ia melihat seorang perempuan sedang menangis tersedu-sedu duduk di atas batu. Ia yakin itu adalah manusia karena tak jauh dari sana ada kebun dan sebuah rumah.
Bujang Tuo mendekati perempuan itu dan mereka pun berkenalan. Akhirnya diketahuilah bahwa perempuan itu bernama Gadis. Ia tinggal dengan kedua orang tuanya. Hanya mereka yang tinggal di atas bukit itu. Usia Gadis sudah tidak muda lagi. Namun selama ini ia belum mau menikah karena masih asik dengan pekerjaan dan kebebasannya. Meskipun orang tuanya sudah berulang kali menanyakan perihal itu kepadanya. Sekarang setelah tidak muda lagi baru muncul keinginannya untuk menikah. itulah yang membuatnya bersedih sehingga sering menangis. Bujang Tuo merasa bahwa jalan hidup Gadis mirip dengan dirinya.
Semenjak saat itu, Bujang Tuo sering berkunjung ke sana. Ia merasa tertarik dengan Gadis, namun ia belum berani untuk mengungkapkannya. Ia masih ingin melihat-lihat terlebih dahulu. Bujang Tuo juga tidak menceritakan peristiwa itu kepada orang lain termasuk orang tuanya. Ia tak ingin mereka tahu sebelum ia mendapat kepastian akan hubungan mereka. Hingga pada suatu saat Bujang Tuo pun mengutarakan perasaannya kepada Gadis. Akan tetapi, Gadis masih ragu dengan keseriusan Bujang Tuo. Ia takut kalau-kalau Bujang Tuo hanya bermain-main apalagi ia belum begitu mengenal asal-usul Bujang Tuo. Akhirnya Bujang Tuo memberikan kesempatan kepada Gadis untuk memikirkannya beberapa waktu.
Sampailah pada masa yang telah disepakati untuk bertemu. Mereka duduk di tepi lubuk. Bujang Tuo ingin sekali mendengar jawaban Gadis. Di dalam hati ia berdoa agar Gadis berjodoh dengannya.
"Sampaikanlah buah renungmu, Gadis. Ingin aku segera mendengarnya."
"Abang, bimbang aku memutuskannya. Masih ada ragu di hati tentang keseriusan Abang. Namun, jika benar abang bersungguh-sungguh, kelak datanglah sebulan lagi untuk melamarku. Itulah bukti keseriusan abang."
Tanpa pikir panjang Bujang Tuo langsung menyanggupi permintaan Gadis. Ia bahagia dengan jawaban yang diberikan Gadis.
"Baiklah, jika itu pintamu aku menyanggupinya," jawab Bujang Tuo.
"Tapi, aku ingin abang berikrar setia dalam sumpah bahwa abang bersungguh-sungguh. Selama ini baru abang lelaki yang mampu menggerakkan hatiku. Aku tidak ingin semua ini hanya angan belaka. Niat baik sering banyak cobaannya, Bang."
Bujang Tuo terdiam sesaat. Ia mencoba memahami permintaan Gadis. Namun Bujang Tuo bingung seperti apa sumpah yang dapat memberikan keyakinan pada Gadis. Setelah terdiam beberapa saat akhirnya Bujang Tuo bicara juga.
"Baiklah. Untuk kesungguhan kita aku bersumpah akan menjadi buaya di lubuk ini seandainya kita tidak jadi menikah." gadis pun menerima sumpah yang diikrarkan BujangTuo. Ia memilih menjadi buaya di lubuk itu daripada harus menanggung malu karena batal menikah.
Hari berganti. Sebulan telah berlalu semenjak Bujang Tuo mengikrarkan sumpah. Pagi itu Gadis telah berada di tepi lubuk tempat dulu mereka berjanji. Gadis ingin lekas bertemu dengan Bujang Tuo yang akan datang melamarnya sesuai janjinya. Lama ia duduk, namun belum tampak juga olehnya Bujang Tuo. Sampai selepas tengah hari Bujang Tuo masih juga belum datang. Gadis mulai resah kalau-kalau Bujang Tuo tidak akan datang. Jika itu terjadi ia tak sanggup menanggung malu kepada orang tuanya.
Hari sudah mulai sore, namun Bujang Tuo belum juga menampakkan diri. Gadis menangis. Hancur hatinya Bujang Tuo belum juga datang. Dalam kesedihan dan keputusasaan itu keluarlah keluhannya.
"Mengapa ketika ada keinginanku untuk menikah setelah ada orang yang menggerakkan hatiku, semua menjadi begini? Tak sanggup aku menanggung malu. Jika memang ini nasibku, aku terima kutukan itu."
Setelah meratap seperti itu tiba-tiba terjadi perubahan pada Gadis. Secara perlahan mulai dari kakinya mundul sisik-sisik buaya. Lalu bentuk tubuhnya pun mulai berubah menjadi bentuk buaya. Namun semua berwarna putih. Pada saat kepalanya akan berubah menjadi kepala buaya, Bujang Tuo datang. Bujang Tuo sempat melihat kepala Gadis yang belum berubah menjadi buaya, namun terlambat. Ketika ia datang seluruh tubuh gadis telah berubah menjadi buaya. Bujang tuo menyesali keterlambatannya. Ia menangis tersedu-sedu. Dalam kesedihan itu ia pun berkata, "Mengapa ini yang terjadi. Setelah datang keinginanku untuk menikah, tapi tidak juga terkabul. Buruk sekali nasibku. Jika ini suratanku, aku teruma kutukan itu!" Akhirnya Bujang Tuo pun berubah menjadi seekor buaya putih.
Mereka sama-sama telah berubah menjadi buaya putih di sebuah lubuk di Batang Senamat. Kepala mereka akan terlihat apabila air di lubuk itu surut.


11.17.2008

PEREMPUANKU

oleh: MalaM

Perjalanan menuju kampung halamanku memang melelahkan. Apalagi untuk ukuran usiaku yang sudah menginjak empat puluh dua tahun. Untunglah Kijang tua ini mengerti bahwa aku sudah terlalu tua mengemudikannya untuk perjalanan jauh. Di sampingku, kulihat Siska masih asik dengan mimpinya. Sejak kunikahi tujuh belas tahun yang lalu, sifatnya tak banyak berubah. Dia selalu pandai menyemangati aku untuk berjuang menuntaskan pekerjaan dengan sabar dan telaten. Pesan untuk berhati-hati seringkali ia iringkan sesaat sebelum aku memunggunginya. Yah, ia memang tipe istri yang susah dicari gantinya, setidaknya bagiku. Selain setia, ia pun tak pernah memanfaatkan keindahannya untuk menekanku demi mendapatkan kesenangannya. Tak seperti Priska, istri temanku, Bambang. Priska memang berdarah indo dan mungkin itu pula yang memberi nilai tambah bagi kecantikannya. Aku diperkenalkan Bambang dengannya saat mereka mengadakan pesta ulang tahun Frans, anak pertama mereka. Di situ aku langsung mengagumi kecantikan Priska.
"Tak ada lagi alasanmu untuk mengeluh dalam hidup ini, Mbang", godaku pada Bambang.
"Ah, kamu bisa saja, Wan", balasnya sambil mengumbar senyum.
Sembilan bulan setelah peristiwa itu, aku menemukan kejanggalan pada Bambang. Ia tampak sering uring-uringan. Pekerjaannya banyak yang terbengkalai. Hampir tak ada hari tanpa kata makian darinya yang ditujukan entah untuk siapa. Hal yang selama ini belum pernah kutemukan dari Bambang. Awalnya aku menganggap dia sedang cekcok dengan istrinya dan itu adalah hal yang biasa. Namun semua menjadi jelas ketika sebulan kemudian Rudi, teman kami, melihat Priska berangkulan dengan seorang laki-laki memasuki sebuah hotel bintang dua. Tiga minggu kemudian kudengar mereka bercerai.
Aku memperlambat laju kendaraan. Hujan mulai turun. Kulirik istriku masih asik dengan lelapnya. Sesekali kubetulkan letak jilbabnya. Entah mengapa, sepertinya aku begitu takut kehilangan dia. Meskipun hanya metamatkan pendidikan di sekolah menengah kejuruan, namun ia seperti begitu memahami hidup. Aku menyesal karena tidak dapat mencarikan biaya untuk melanjutkan pendidikannya. Padahal dulu ia termasuk pelajar yang berpotensi. Itu kesimpulanku ketika secara tak sengaja melihat ijazahnya. Pernah aku menanyakan padanya tentang keinginannya untuk kuliah. Namun ia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Sebagai seorang pegawai negara, gaji bulananku hanya cukup untuk membiayai kebutuhan yang penting-penting saja. Belum lagi ketiga orang anakku yang harus dibiayai. Kami sepakat bahwa mereka harus dapat mengecap bangku perkuliahan. Untuk itu, sejak pertama menikah, kami sudah mengumpulkan uang.
"Bang, Siska sudah senang, kok, dengan keadaan sekarang. Siska tidak ingin abang terlalu terbebani. O, ya, Bang, di lingkungan sini kan belum ada yang membuka warung, bagaimana kalau kita saja, Bang? Siska juga akan senang mempunyai kesibukan tambahan selama abang bekerja di kantor. Boleh, ya, Bang?" Pinta istriku saat kami sedang makan malam.
"Kalau Siska senang, ya, abang setuju saja. Tapi, apa kita sudah punya cukup uang untuk modal usaha?"
"InsyaAllah, Bang. Lagi pula Siska akan memulainya dengan menjual kebutuhan pokok dulu."
Aku sudah memasuki pusat kota kabupaten Bungo. Artinya, sebentar lagi aku akan sampai. Kembali kulirik istriku. Ia sedikit menggeliat, namun masih tetap pulas. Tiba-tiba ponselku berdering. Putra sulungku menelpon.
"Assalammualaikum. Ada apa, Ki?"
"Waalaikumussalam warahmatullah. Sudah sampai mana, Pa?" Ia balik bertanya.
"Bungo. Sebentar lagi insyaAllah sampai."
"Pa, om Ris meninggal."
"Hah! Innalillahi wainnailaihi rojiun. Kapan, Ki?"
"Satu jam yang lalu, Pa, di rumah sakit. Tapi sekarang jenazahnya sudah dibawa pulang. Oki sudah bilang bahwa papa dan mama lagi di kampung. Udah dulu, ya, Pa, Oki mau ke sebelah dulu. Assalammualaikum."
Aku menghempaskan nafas. Terbayang olehku sosok laki-laki putih semampai namun kurus. Aku langsung bisa menebak penyebab kematiannya, tekanan batin. Ia atasan sekaligus tetanggaku. Rumah kami berdekatan. Orangnya baik. Aku sering cemburu melihat keberuntungannya. Karirnya yang mulus semakin dilengkapi dengan hadirnya sosok istri yang berpendidikan tinggi. Kami resmi bertetangga menjelang istrinya mau melanjutkan studi pascasarjana. Peresmian rumah barunya di dekat rumahku dibuat meriah. Pesta itu sekaligus syukuran untuk istrinya yang akan melanjutkan pendidikan ketingkat magister. kebahagiaan tampak sekali di wajahnya.
Akan tetapi, ternyata kecemburuan itu tidak bertahan lama. Setelah istrinya menyelesaikan studi, babak baru dalam kehidupan mereka pun dimulai. Kalau dulu Ris hanya sering memanggilku ke ruangannya untuk urusan kantor, sekarang sudah bertambah dengan urusan rumah tangganya. Sebetulnya aku merasa risih untuk membicarakan itu. Posisiku sebagai bawahannya merupakan alasan utama. Namun akhirnya aku bisa juga untuk bersikap santai.
"Wan, aku tak tahan lagi menghadapi tingkahnya. Aku merasa semakin tidak dipedulikan. Dia semakin ngelunjak." Pias wajah Ris mengeluh padaku.
"Ris, barangkali dia ingin menunjukkan bahwa dia juga bisa sepertimu. Mungkin dia masih menikmati posisi barunya sebagai kepala bagian di kantornya." Aku sangat berhati-hati dalam berbicara, takut dia tersinggung.
"Wan, sekarang dia lebih sering pulang malam. Di rumah, pendapatku seolah tak di dengar lagi, emansipasi, katanya."
Ris menghisap rokoknya dalam-dalam, "katanya, dia juga ingin berarti di depan anak-anak. Tidak ingin seperti perempuan-perempuan lain yang hanya bisa bergantung kepada suami."
"Sebuah ironi, Wan. Di sini aku dihormati, tapi di rumah, ah, bahkan anak-anakku sudah mulai terpengaruh dengan dia, Wan. Rasanya aku lebih senang berlama-lama di sini dari pada di rumah, seperti neraka saja," keluhnya sambil menatapku.
Aku tak tega mendengarnya. Sebagai sesama laki-laki, aku dapat menyelami kepedihannya. Bagiku rumah adalah tempat terindah untuk memuarakan segala persoalan. Keluarga adalah penawar masalah yang menjangkiti hidupku. Aku setuju dengan anggapan orang tentang rumah ibarat surga. Di rumah, segala beban dan keputus-asaan dapat dinetralisasi.
"Aku tak tahu, Wan, entah sampai kapan aku dapat bertahan dalam keadaan ini." Dia kelihatan mulai putus asa.
"Jangan begitu, Ris. Setiap masalah ada jalan keluarnya. Bersabarlah. Aku mengerti perasaanmu. Tapi aku tak dapat berbuat banyak. Aku dan istriku juga tidak cukup dekat dengan istrimu. Hanya kamu yang paling kami kenal. Kudoakan semoga engkau dapat terbebas dari masalah ini."
Malamnya, kudengar kabar bahwa Ris masuk rumah sakit. Saat aku membesuknya ke sana, dia masih belum dapat menerima tamu. Kata dokter, darah tingginya kambuh. Esok harinya aku kembali ke rumah sakit. Beruntung dia sudah dapat ditemui. Lama sekali dia menatapku. Untung aku tidak sendiri. Aku bersama rekan-rekan sekantorku. Kehadiran kami sepertinya dapat menghiburnya. Aku senang melihat senyum di bibirnya yang pasi meskipun samar. Kami berusaha untuk tidak membahas hal-hal yang mungkin membuatnya sedih.
Aku dan istriku kembali lagi menemuinya bakda isya. Tepat di depan kamarnya, kulihat ke dalam melalui kaca bening di tengah atas pintu. Kulihat ia sendiri, tak tampak anggota keluarganya. Kuberanikan mengetuk pintu. Kami masuk. Ia tersenyum. Ia bercerita banyak hal malam itu, termasuk pertengkaran dengan istrinya yang membuat dia seperti sekarang.
"Kamu masih ingat kan, Wan, pembicaraan kita kemarin? Mungkin sebentar lagi aku akan benar-benar terbebas dari masalah ini."
Aku jadi risih. Aku menangkap nada pilu dari bahasanya. Sungguh aku tak tega mendengarnya.
"Kamu beruntung dapat istri seperti Siska. Meskipun tidak kuliah, tapi mampu membantumu mewujudkan surga impianmu."
Untung anaknya segera datang. Pembicaraan segera beralih ke topik lain. Cukup lama kami di sana. Sampai kami pulang, istrinya belum juga datang. Kata anaknya masih memantau persiapan untuk acara kantornya besok pagi.
Hujan telah mulai reda. Beberapa menit lagi aku sampai ke tujuan. Kembali kulirik istriku. Ia masih tidur. Entah apa yang sedang diimpikannya sekarang, aku tak tahu dan juga tak ingin tahu. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Tiba-tiba aku ingat ibu. Bagaimana kabarnya? Ah, sebentar lagi aku juga akan bertemu dengannya. Tapi, apakah ia masih tertekan dengan sikap bapak? Bapak memang tipe lelaki yang keras hati. Ia pantang ditentang. Apa yang dikatakannya, itulah peraturan. Ibu sering bercerita padaku tentang pengalamannya dengan bapak. Tapi ibu tak pernah berani mengeluarkan pendapatnya. Bapak gampang tersinggung, katanya. Memang, kalau bapak sudah uring-uringan, maka semuanya bisa kena imbasnya.
"Wan, kamu kalau sudah menikah nanti, pandai-pandailah dengan istrimu. Meskipun kami perempuan, tapi kami juga punya keinginan untuk berarti dalam rumah tangga. Kami juga punya harapan tentang penghargaan dan rumah tangga. Coba kalau dulu ibu tamat es-em-a, mungkin ibu akan jadi orang kantoran pula seperti bapak. Si Marni yang tamat es-em-a bisa kerja di kelurahaan. Bapakmu itu kan tidak sering pusing lagi dengan urusan duit karena ibu juga dapat duit," keluh ibu suatu kali saat aku masih kuliah.
"Eh, Bang, sudah hampir sampai, ya. O, habis hujan, ya." Istriku sudah bangun.
Aku hanya memberikan sebuah senyum untuk semua pertanyaannya. Kulirik dia. Ia asik memandang rumah dan pepohonan di kiri jalan. Tiba-tiba aku menjadi gelisah. Aneh, aku tak sanggup memandangnya lama-lama. Aku gugup. Kupalingkan tatapan ke depan. Aku takut suatu saat Siska menjadi asing bagiku, entah mengapa. Aku merasa ingin bercerita tentang semua pengalaman ini kepada siapa saja, tetapi bukan kepada Siska. Sial! Mengapa aku jadi seperti ini? Mengapa aku jadi berpikiran yang bukan-bukan tentang Siska? Bukankah aku telah lama mengenalnya, tapi kenapa sekarang aku menjadi…? Ah! Perasaan apa ini? Mengapa aku begitu khawatir kalau dia akan menjadi salah satu dari perempuan-perempuan itu? Aku harus bercerita! Harus!
Kutekan lagi pedal gas. Aku hanya memandang ke depan. Jauh, jauh sekali.


11.13.2008

Sanggar Sastra Siswa
Oleh: Afriyendy Gusti

Salah satu pengertian ‘sanggar’ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tempat untuk kegiatan seni. Dengan kata lain, istilah sanggar juga dapat diartikan sebagai sebuah tempat untuk berkesenian, baik untuk seni lukis, seni tari, seni musik, maupun seni pertunjukkan. Di dalam sanggar individu-individu melakukan interaksi secara berkesinambungan mulai dari hanya sekadar berwacana, beradu argumen, sampai pada implementasi sintesis yang telah disepakati.
Beberapa tahun belakangan, seiring dengan semakin dikenalnya dunia sastra di masyarakat, hadir pula sebuah wadah bersastra beberapa individu yang disebut dengan sanggar sastra. Jika merujuk kepada defenisi sanggar di atas, sanggar sastra dapat diartikan sebagai sebuah tempat untuk bersastra, baik untuk mengapresiasi ataupun memroduksi karya sastra. Akan tetapi, biasanya sebuah sanggar sastra lebih memilih untuk melakukan keduanya.

Hubungan Sanggar Sastra dengan Sekolah dan Siswa
Sekolah sebagai lembaga resmi yang dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan proses pendidikan dan pengajaran memiliki fungsi strategis dalam pembinaan sanggar sastra. Selain memediasi praktisi sastra dan/atau sastrawan dengan siswa, sekolah juga mengorganisasikan siswa pecinta sastra untuk berkreatifitas dalam sebuah sanggar sastra. Pelaksanaan terhadap fungsi tersebut, selain membantu guru Bahasa Indonesia memberikan pengetahuan kesastraan terhadap siswa, sekolah juga telah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan dirinya dalam dunia sastra. Dengan demikian, pemasyarakatan sastra terhadap generasi muda akan lebih mudah dilakukan.
Sementara itu, siswa sebagai sivitas sekolah yang pada masanya akan menjadi tulang punggung bangsa diharapkan dapat tumbuh dengan memiliki segenap kecerdasan yang berimbang, baik cerdas secara intelektual, spritual, emosial, sekaligus peka terhadap gejala sosial. Karya sastra pada umumnya lahir sebagai reaksi atas realitas di masyarakat (mimesis). Pada dasarnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk mengapresiasi realitas, tetapi tidak setiap orang mampu untuk mengimplementasikan apresiasi tersebut melalui tulisan. Padahal, tulisan merupakan salah satu media terbaik untuk merekam peristiwa. Bagian inilah yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa yang tergabung ke dalam sanggar sastra. Dengan program-program positif yang disusun oleh anggota sanggar, diharapkan siswa mampu memroduksi karya-karya sastra yang baik, karya yang merupakan hasil dari apresiasi, kontemplasi, dan imajinasi siswa secara mandiri.
Selain meningkatkan pengalaman bersastra siswa, keberadaan sanggar sastra di sekolah secara tidak langsung juga (diharapkan) mengurangi tingkat kenakalan remaja (siswa). Kecenderungan remaja untuk menojolkan dan membuktikan eksistensi secara individu maupun berkelompok dapat diarahkan pada kegiatan yang positif. Dengan komunikasi yang berkelanjutan, pengaruh negatif (seperti narkoba, kelompok liar (gank), budaya konsumtif) yang rentan menjerumuskan remaja dapat diantisipasi. Sekali waktu siswa pun dapat diajak mendiskusikan tontonan/hiburan di layar televisi yang menurut beberapa pengamat cenderung menawarkan pola hidup konsumtif ala kapitalisme(?).

Karya Sastra
Menurut Budi Darma, di antara tiga kategori ilmu pengetahuan, yakni humaniora, eksakta, dan sosial, ilmu humaniora adalah yang paling tua. Sesuai dengan namanya, humaniora, yaitu ilmu-ilmu yang berusaha memanusiakan manusia dan menjadikan manusia berbudaya. Sastra, bahasa, dan agama merupakan cabang ilmu yang termasuk ke dalam ilmu humaniora. Menurut konsep Barat, sastra berasal dari litera (huruf), sedangkan menurut konsep Timur yang awalnya datang dari peradaban India Kuno, sastra berasal dari su-sastra, yaitu tulisan yang baik dengan tujuan yang baik pula. Dengan demikian, sastra diciptakan dengan bahasa yang baik dan mengandung tujuan yang baik pula.(Darma: 2004)
Ada tiga genre sastra yang dikenal secara luas, yakni puisi, drama, dan cerita rekaan. Ketiga genre ini memiliki bagian-bagian tersendiri pula. Pada puisi dikenal juga istilah sajak, gurindam, syair, pantun, dan seterusnya. Pada drama muncul teater, monolog, opera, dan seterusnya. Pada cerita rekaan, termasuk di dalamnya cerita pendek, novel, roman, dan seterusnya. Meskipun memiliki spesifikasi yang berbeda, namun menurut Horatius, di dalam karya sastra tetap mengandung dua unsur, yakni dulce et utile (nikmat dan manfaat). Selain memiliki alur dan gaya bahasa yang memikat, karya sastra juga harus bermanfaat terhadap pembacanya.

Merencanakan Sanggar Sastra
Keberadaan sebuah sanggar sastra pada prinsipnya sama dengan keberadaan program-program kreatif lainnya yang terdapat di sekolah seperti pramuka dan sispala. Hal utama adalahkemauan yang kuat dari pembuat kebijakan di sekolah termasuk di sini adalah guru Bahasa Indonesia dan/atau guru Kesenian. Siswa masih merupakan pihak yang perlu didorong dan semangati untuk dibina. Untuk pengembangannya dapat bekerja sama dengan pihak dari luar sekolah seperti seniman, sastrawan, ataupun lembaga-lembaga pemerintah/swasta yang memiliki kompetensi akan hal ini. Pada akhirnya tugas pendidikan diharapkan bukan hanya menjadi beban guru dan sekolah sebagai institusinya, melainkan menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Semoga dengan keberadaan sanggar siswa di sekolah dapat memunculkan siswa yang intelektual, kreatif, dan berbudaya seperti apa yang dipercayai Gothe bahwa sastra merupakan dunia pemikiran. Dengan demikian, mempelajari dunia sastra dapat dikatakan sebagai pengajaran mengenai akal budi atau pemikiran (Darma: 2004).

KARYA YANG MENCERDASKAN
Oleh: Afriyendy Gusti

Membicarakan karya sastra seperti cerpen, puisi, novel, dan novel merupakan pekerjaan yang tidak (akan) pernah selesai. Ini merupakan konsekuensi logis dari perjalanan karya sastra itu sendiri. Kritik akan terus ada selama karya sastra eksis sebagai salah satu anasir pembangunan sosial. Sebagaimana telah diketahui bahwa pembicaraan mengenai karya sastra sendiri telah berlangsung selama berabad-abad. Bahkan mungkin secara genesis pembicaraan tentang karya sastra telah terjadi sebelum karya itu ada, namun mungkin dengan penamaan yang berbeda.


Di Indonesia, sebelum hadirnya karya sastra modern, sastra daerah telah lebih dahulu memberikan kontribusi dalam pembangunan manusia. Produk-produk budaya sebagai hasil dari local genius, dianggap cukup mampu untuk menerangkan situasi pada masanya. Hal ini disebabkan karena anggapan bahwa karya sastra merupakan representasi peristiwa pada masa karya itu dibuat. Karya sastra merupakan cerminan realitas. Aspek imajinasi memang realitas sebuah karya, namun ia sangat berhubungan dengan sistem sosial yang ada. Kehadiran cerita rakyat, mitos, legenda, dan seni pertunjukan daerah dapat memberikan gambaran tentang perjalanan sebuah peradaban.
Kehadiran pengarang sebagai pencipta karya, merupakan satu entitas yang tidak akan bisa melepaskan diri dari sistem sosial. Rekayasa yang dilakukan pengarang tetap bertolak dan mempertimbangkan masyarakat, meskipun berdasarkan sudut pandangnya sendiri. Nyoman Kutha Ratna (2004:329) menyatakan bahwa karya sastra mengandung aspek-aspek kultural, bukan individual. Masalah-masalah yang diceritakan adalah masalah-masalah masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, penelitian terhadap karya sastra pada dasarnya identik dengan meneliti seluruh aspek kehidupan sebagaimana diungkapkan melalui bahasanya masing-masing.
Di dalam karya sastra sendiri, minimal ada dua nilai yang dapat ditemukan yakni nilai estetika dan nilai sosial. Nilai estetika merupakan nilai keindahan baik dari segi kata-kata, pengaluran, dan sebagainya. Nilai estetika ini merupakan nilai dasar yang melekat pada karya sastra itu sendiri yang berasal dari istilah susastra yaitu kata-kata yang indah. Nilai sosial dapat ditemukan melalui pembacaan terhadap karya secara utuh. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa nilai sosial adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui sebuah karya. Nilai ini tentu berhubungan dengan dunia masyarakat. Secara implisit Culler (dalam Ratna:2004) menyebutkan bahwa lukisan melalui kata-kata tertentu akan menghasilkan dunia tertentu, ‘words’ akan menghasilkan ‘world’, sebagai dunia dalam kata. Sehubungan dengan nilai sosial di atas, melalui penokohan, pengaluran, dan latar dapat dibaca dunia seperti apa yang dilukiskan atau ingin ditawarkan dalam sebuah karya sastra.

Karya Sastra dan Kecerdasan
Salah satu pengertian kecerdasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah perbuatan mencerdaskan; kesempurnaan perkembangan akal budi. Kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar. Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain.
Sebagai makhluk sosial, individu membutuhkan individu-individu lain. Oleh karena itu akan terjadi interaksi antarindividu. Selama proses itu tetap berlangsung ada norma-norma yang berlaku. Norma-norma tersebut akan terkonvensikan menjadi sebuah peraturan baik secara tertulis ataupun tidak tertulis (stereotip). Pelanggaran terhadap norma tersebut akan berakibat pemberian sanksi. Persoalan inilah yang pada umumnya terdapat dalam sebuah karya sastra. Karya sastra sebagai salah satu produk literer yang memuat perilaku individu, masyarakat, dan lingkungan sarat dengan pesan-pesan moral tersebut.
Bagaimana cara karya sastra mencerdaskan? Sebagai produk literer, karya sastra dapat dinikmati dengan cara membacanya. Pembaca biasa tentu tidak akan mendapat nilai tambah selain kesenangan semata. Artinya, pembaca jenis ini tidak melakukan penelaahan terhadap teks. Kelompok ini hanya akan melihat teks sebagai teks, tanpa tendensi apapun. Pembaca yang lain adalah pembaca yang sekaligus memberikan apresiasi terhadap teks yang dibacanya, menghubungkan antara teks dengan konteks. Pembacaan yang mempertimbangkan fungsi kogsnisi, afeksi, dan psikomotor. Pembaca seperti inilah yang kelak berpeluang memperoleh eskalasi pada kecerdasan intelektual dan emosionalnya.
Sebagai homo saphien, manusia diidentikkan dengan fungsi pikiran yang merupakan kelebihannya dari makhluk lain; aku berpikir maka aku ada kata Rene Descartes. Pemanfaatan pikiran inilah yang sebenarnya diharapkan dalam pembacaan karya sastra. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kerjasama dalam banyak hal termasuk dalam pengalaman. Kedua hal ini merupakan aspek dasar yang mesti dipunyai ketika melakukan pembacaan terhadap sebuah karya. Setiap individu mempunyai pengalaman yang cenderung berbeda dengan invidu lain. Konsekuensi logisnya adalah terjadinya perbedaan penafsiran dalam banyak hal, termasuk pada karya sastra. Akan tetapi, sebuah karya tak hendak menawarkan sebentuk penyeragaman. Karya sastra lebih cenderung memaparkan sebuah opini yang muaranya adalah pembaca.
Setiap individu biasanya hidup dengan berpegangan dengan kebenarannya masing-masing. Untuk itu, diperlukan sebuah media kontrol agar kebenaran individu tersebut tidak berbenturan dengan kebenaran yang dipercayai oleh individu lain. Diperlukan kesepakatan bersama yang bersifat mutualisme. Di sinilah sesungguhnya salah satu peranan karya sastra. Karya sastra bukanlah sebuah lembaga penghakiman salah dan benar ataupun baik dan buruk, namun semuanya dikembalikan kepada pembaca. Di sinilah kecerdasan pembaca berperanan. Artinya, pembaca bukan lagi sebagai objek, tapi sudah berubah menjadi subjek.
Kedudukan pembaca sebagai apresiator ini berhubungan erat dengan kecerdasan intelektual dan emosional. Kecerdasan intelektual berguna untuk memahami karya sastra seperti pada aplikasi teori-teori pembahahasan karya sastra sedangkan kecerdasan emosional berguna untuk menanggapi ide-ide yang terdapat dalam karya tersebut dengan mempertimbangkan nilai-nilai dan sistim sosial yang berlaku. Dengan kata lain, pembacaan terhadap sebuah karya sastra tidak dapat dilakukan dengan baik apabila pembaca belum memiliki dua kecerdasan tersebut.
Dengan demikian, karya sastra hadir tidak hanya menawarkan sebuah pengalaman kepada pembaca, namun ia berfungsi untuk merangsang kecerdasan intelektual di satu sisi dan kecerdasan emosional pada sisi yang lain. Setelah itu, baru didapatkan peranan karya sastra sebagai karya yang memiliki fungsi dulce et utile.